Pages

Sunday, December 19, 2010

PENGETAHUAN DASAR STRATIGRAFI

By GIANDA VERMA 270110090005


Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi.






PRINSIP STRATIGRAFI

           Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:

1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari: 
• Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)
         Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.
• Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)
         Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.
• Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)  
         Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar (horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal (principle of vertical accumulation).
2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)

Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme
          yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain “masa kini merupakan kunci dari masa lampau” (“the present is the key to the past”). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.
3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.
        Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya
4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)

          Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
5. Prinsip William Smith (1816)

          Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)
            Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.


Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di ketahui, yaitu:

1. Unsur batuan
           Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.

2. Unsur perlapisan
          Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa:
• Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.
• Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.


PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI 

International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)
1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan kecenderungan untuk    memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak secara interpretatif.
2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen Stratigrafi).
3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya, sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya
4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat diterima sebagai satuan stratigrafi resmi
5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan.

2.4.2. Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang
1. Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.
2. Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2 atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.
3. Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.
4. Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih terlihat bentuk-bentuknya.
5. Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
6. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran dari International Stratigraphic Guides, 1994.

2.4.3. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)
Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan.

2.4.4. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)
SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1. SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2. SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
            Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
           Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian. 
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
1. Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti oleh kata “series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
2. Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
3. Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan “Sikuenstratigrafi” dan Satuan “Tektonostratigrafi”.
              Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
             Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara (NW Java Basin).
              Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
               Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
             Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.

Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencana penerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia
1. Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2. Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
3. Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
4. Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
5. Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6. Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7. Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi.

2.4.5. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)
Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
1. Kendala Lingkup Penerapan
           Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
2. Kendala Pendidikan Dasar Geologi
       Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit untuk dipelajari.
3. Kendala Kesampaian Medan
       Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
4. Kendala Atmosfer Penelitian
         Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
Adanya kendala-kendala tersebut “ Para ahli geologi Indonesia semakin tidak memahami kondisi geologinya sendiri”. Di masa mendatang, sangat mungkin ahli geologi luar negeri akan menjadi lebih tahu geologi gunungapi Indonesia dan lebih mampu/ cepat memanfaatkan potensi sumber daya geologi Indonesia daripada ‘tuan rumah’nya. Akhirnya kita hanya akan menjadi penonton/ pelayan di negaranya sendiri. Apakah kita ingin seperti itu nantinya?

Usaha Penyelesaian
1. Mendorong iklim penelitian pemanfaatan sumber daya gunungapi yang diawali dengan penelitian-penelitian dasar geologi gunungapi,
2. Memperluas lingkup penerapan satuan stratigrafi gunungapi hingga batuan berumur Tersier atau yang lebih tua.
3. Mengubah secara bertahap bahan pendidikan dan pengajaran geologi disesuaikan dengan kondisi geologi Indonesia, serta
4. Memperkenalkan dasar-dasar geologi Indonesia kepada guru dan anak didik sejak pendidikan dasar hingga menengah atas.
Posisi Sikuenstratigrafi Di Dalam SSI 1996. Beberapa Persoalan Yang Timbul. (Wartono Rahardjo)
          Konsep Sikuenstratigrafi telah banyak diterapkan dan terbukti mampu memecahkan sejumlah masalah eksplorasi / produksi pada industri minyak dan gas bumi.
Pendekatan
            Analisis stratigrafi dengan pendekatan Litostratigrafi prinsipnya berdasarkan pemerian lapisan yang diamati. Penafsiran didasarkan atas kriteria yang teramati, yang sekaligus menjadi pembatas dari penafsiran tersebut. Kriteria tersebut bisa bersifat litologi (Litostratigrafi), fosil (Biostratigrafi) atau kombinasi keduanya sehingga muncul satuan Kronostratigrafi dan Geokronologi.
         Analisis Sikuenstratigrafi mulanya juga bersifat deskriptif seperti pada Litostratigrafi namunkemudian telah berkembang menjadi ilmu yang sangat deterministik bahkan bersifat prediktif.

Beberapa Perubahan Pada Konsep Dasar
           Ada beberapa konsep dasar Litostratigrafi yang tidak sesuai lagi bila diterapkan dalam pembahasan Sikuenstratigrafi, sehingga perlu pandangan baru dalam pemahaman konsep-konsep dasar yang ada di dalam Litostratigrafi.
Permasalahan Sikuenstratigrafi dalam SSI 1996
            Secara eksplisit sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996, namun dalam praktek belum banyak digunakan, terutama pada penelitian geologi permukaan. Konsep stratigrafi tradisionil masih lebih banyak digunakan.

Kesimpulan
1. Pendekatan Sikuenstratigrafi yang berakar dari Seismikstratigrafi secara nyata telah membenarkan hasil yang lebih baik dalam penafsiran stratigrafi detail daripada pendekatan stratigrafi konvensional..
2. Banyak praktisi geologi non stratigrafi menjadi ketakutan dan enggan mendalami Sikuenstratigrafi karena banyaknya istilah baru yang khas Sikuenstratigrafi.
3. Keberadaan ketidakselarasan dalam berbagai ujudnya sangat penting dalam Sikuenstratigrafi tetapi masih kurang diperhatikan peranannya pada satuan stratigrafi yang lain, terutama pada satuan Litostratigrafi.
4. Saran yang dapat diajukan sebagai akibat dari diakuinya Satuan Sikuenstratigrafi adalah perbaikan dalam pendefinisian dari korelasi (pasal 7 SSI 1996) serta penambahan pasal tentang ketidakselarasan
2.4.6. Litostratigrafi vs Biostratigrafi Di Cekungan Kutai Hilir: Masukan Bagi Penyempurnaan SSI’96. (Andang Bachtiar)
                   Perlunya tinjauan ulang penggunaan litostratigrafi untuk menerangkan stratigrafi endapan delta di semua cekungan di Indonesia, terutama apabila dimensi deltanya ekivalen dengan Delta Mahakam purba. Hal ini menjadi sangat penting karena keragaman fasies litologi endapan delta, baik secara lateral/ vertikal yang diakibatkan oleh proses naik-turunnya muka air laut relatif dapat sangat ekstrim, yaitu dari dominan batupasir fluvial sampai ke endapan laut dalam, sehingga satu penamaan formasi saja tidak cukup untuk memerikan stratigrafinya.
2.4.7. Kontribusi Seismik Stratigrafi pada Pembenahan “Satuan Resmi Bawah Permukaan” Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (Awang H. Satyana & Brahmantyo K. Gunawan)
1. SSI 1973 dan 1996, kurang mengakomodasi masalah stratigrafi bawah permukaan.
2. SSI 1996 telah memuat Satuan Sekuen Stratigrafi, tetapi belum berdasarkan kepada data bawah permukaan khususnya data seismik.


0 comments:

Post a Comment